0
0

Aktivis Pro-Palestina Mahmoud Khalil Dibebaskan Setelah Berbulan-bulan Ditahan

Setelah menjalani penahanan selama berbulan-bulan, Mahmoud Khalil akhirnya menghirup udara bebas. Pembebasannya disambut haru oleh para pendukung perjuangan Palestina

LiputanKhusus.com, LOUSIANA — Setelah lebih dari tiga bulan mendekam dalam tahanan imigrasi, aktivis Pro-Palestina sekaligus mahasiswa pascasarjana Columbia University, Mahmoud Khalil, akhirnya dibebaskan pada Jumat malam. Keputusan ini menandai babak baru dalam ketegangan antara kekuasaan eksekutif pemerintahan Donald Trump dan lembaga peradilan federal Amerika Serikat.

Khalil, yang menjadi salah satu tokoh sentral dalam gelombang protes di kampus Columbia menentang serangan militer Israel ke Gaza, ditahan sejak Maret lalu oleh petugas imigrasi. Penahanannya menjadi simbol kontroversi atas bagaimana pemerintahan Trump berupaya menindak suara-suara kritis terhadap Israel di dalam negeri.

Pembebasan Khalil terjadi setelah Hakim Distrik Michael Farbiarz memutuskan bahwa tidak ada dasar hukum yang kuat untuk terus menahan pria pemegang green card yang telah menetap secara sah di Amerika Serikat, menikah dengan warga negara AS, serta tidak memiliki catatan kriminal apapun.

“Meski keadilan akhirnya ditegakkan, semua ini sudah berlangsung terlalu lama. Tidak seharusnya butuh waktu lebih dari tiga bulan,” ujar Khalil usai pembebasan, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke New York untuk bertemu kembali dengan istri dan anak laki-lakinya yang lahir selama ia berada di balik jeruji.

Di sisi lain, pemerintahan Trump tidak tinggal diam. Kurang dari sepuluh menit setelah Khalil melangkah keluar dari pusat penahanan di Jena, Louisiana, pemerintah langsung mengajukan banding atas keputusan pembebasan tersebut. Mereka mengandalkan klausul langka dari Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan tahun 1952, yang memberikan wewenang besar kepada Menteri Luar Negeri — kini dijabat Marco Rubio — untuk secara sepihak memutuskan apakah seseorang layak tinggal di Amerika.

Pejabat Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), Tricia McLaughlin, mengecam keras keputusan pengadilan. “Ini contoh nyata bagaimana sebagian anggota lembaga yudikatif telah melampaui batas, merusak keamanan nasional, dan melemahkan kepercayaan publik pada sistem hukum kita,” tegasnya.

Namun pengacara Khalil, Alina Das dari New York University School of Law, melihat kasus ini dari kacamata berbeda. “Tak seorang pun di negara ini seharusnya takut dipenjara hanya karena menyuarakan pendapatnya,” ujarnya. “Kami bersyukur Khalil bisa kembali bersama keluarganya, namun perjuangan hukum masih panjang.”

Istri Khalil, Noor Abdalla, yang selama ini aktif memperjuangkan pembebasan suaminya, menyampaikan rasa leganya. “Saya akhirnya bisa bernapas lega. Meski demikian, keputusan ini belum menebus ketidakadilan yang kami alami selama berbulan-bulan,” ungkapnya dalam pernyataan yang dirilis oleh American Civil Liberties Union (ACLU).

Kisah penahanan Khalil muncul di tengah memanasnya iklim politik Amerika yang kian sensitif terkait isu Palestina dan Israel. Sejak dimulainya serangan Israel ke Gaza usai serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, lebih dari 55.000 warga Palestina dilaporkan tewas, sementara lebih dari 250 warga Israel menjadi sandera. Ketegangan global atas operasi militer Israel turut bergema ke dalam kampus-kampus di Amerika Serikat, memunculkan gelombang protes besar-besaran, termasuk di Columbia University.

Pemerintahan Trump berulang kali menuding Khalil sebagai ancaman keamanan nasional yang “mendukung kekerasan, terorisme, dan antisemitisme,” tuduhan yang dibantah keras oleh para pendukungnya.

Saat ini, meski Khalil telah bebas, syarat-syarat ketat tetap diberlakukan. Hakim memerintahkan Khalil untuk menyerahkan paspor serta membatasi pergerakannya hanya di beberapa wilayah, termasuk New York, Michigan, New Jersey, Louisiana, dan Washington D.C., untuk keperluan hukum dan advokasi.

Kasus Mahmoud Khalil kini menjadi preseden hukum yang akan menguji batas kekuasaan eksekutif dalam menentukan nasib warga imigran sah di Amerika. Di tengah sengketa ini, perdebatan tentang kebebasan berbicara, hak imigran, dan politik luar negeri AS terhadap Israel kembali menjadi sorotan panas di tahun politik yang makin memanas.

Baca Lagi

Direkomendasikan

World