Bandung -– Nama Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, kini bergema dengan julukan baru: “Mulyono Jilid II” dan “Jokowinya Sunda.” Julukan ini mencuat berkat gaya kepemimpinannya yang merakyat, sering turun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan masalah di lapangan, serupa dengan “blusukan” yang identik dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, di balik kemiripan ini, pengamat politik menilai Dedi memiliki keunikan tersendiri, terutama dalam kemampuan artikulasi dan dialog yang membuatnya menonjol.
Dengan pendekatan yang autentik dan dekat dengan rakyat, Dedi Mulyadi tidak hanya memperkuat pengaruhnya di Jawa Barat, tetapi juga menjadi ikon politik yang disegani menjelang dinamika politik 2025.
Gaya Merakyat: Dari Blusukan ke Dialog Sengit
Dedi Mulyadi telah menjadi sorotan karena kebiasaannya terjun langsung ke tengah masyarakat, mendengarkan keluhan, dan menangani masalah secara langsung. Aksi-aksi ini, yang kerap viral di media sosial, mengingatkan publik pada gaya blusukan Jokowi, yang membawanya dari Wali Kota Solo hingga Presiden Indonesia selama dua periode (2014–2024).
Seperti Jokowi, Dedi kerap tampil sederhana, berinteraksi dengan petani, buruh, dan masyarakat akar rumput, menciptakan citra pemimpin yang “dekat dengan rakyat.”
Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyoroti perbedaan mendasar antara Dedi dan Jokowi.
“Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih,” ujar Burhan dalam program On Point with Adisty di Kompas TV, tayang pada 10 Mei 2025. Menurutnya, Dedi unggul dalam kemampuan artikulasi dan dialog, mampu menghadapi situasi sulit dengan berdebat secara langsung dan terbuka.
Salah satu momen ikonis yang memperkuat reputasi Dedi terjadi saat ia menjabat sebagai anggota DPRD Purwakarta (1999–2004). Burhan menceritakan, “Waktu itu Purwakarta penuh dengan demo buruh. Ketika koleganya dari anggota DPRD Purwakarta tidak mau menemui demo-demo buruh, dia temuin.
Ramai terjadi perdebatan sangat sengit, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontrak.” Keberanian Dedi menghadapi demonstran dan mengajak mereka berdialog tidak hanya meredakan ketegangan, tetapi juga melambungkan namanya sebagai pemimpin yang berani dan solutif.
Perjalanan Politik: Dari DPRD ke Gubernur
Karier politik Dedi Mulyadi adalah bukti bahwa keterampilan praktis, seperti kemampuan berdialog dan memecahkan masalah, sering kali lebih penting daripada sekadar jabatan atau gelar formal. Setelah menjadi anggota DPRD Purwakarta, Dedi melanjutkan kiprahnya sebagai Wakil Bupati dan kemudian Bupati Purwakarta (2008–2018).
Selama menjabat, ia dikenal karena inisiatif budaya yang kuat, seperti mempromosikan seni dan tradisi Sunda, serta membangun infrastruktur yang mendukung masyarakat lokal.
Kini, sebagai Gubernur Jawa Barat, Dedi terus mempertahankan gaya kepemimpinannya yang merakyat. Ia sering mengunjungi desa-desa, membantu menyelesaikan masalah seperti irigasi petani atau konflik sosial, dan memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi langsung dengan warga. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat basis dukungannya, tetapi juga menjadikannya figur yang relevan di tengah dinamika politik menjelang pemilu berikutnya.
Dedi vs. Jokowi: Gaya Berbeda, Dampak Serupa
Meskipun sering dibandingkan dengan Jokowi, Burhanuddin Muhtadi menegaskan bahwa Dedi memiliki gaya yang berbeda. “Sesuatu yang kalau kita bayangkan seorang Pak Jokowi agak beda. Pak Jokowi itu kan lebih banyak senyum, kalau ditanya, ‘Ya kok tanya saya’ gitu,” kata Burhan.
Jokowi dikenal dengan pendekatan yang lebih kalem, mengandalkan senyum dan gestur sederhana untuk menenangkan situasi. Sebaliknya, Dedi dikenal vokal, artikulatif, dan siap terlibat dalam diskusi panas untuk mencari solusi.
“Sebaliknya, Dedi Mulyadi juga tidak mungkin bersikap seperti Jokowi yang sedikit bicara,” tambah Burhan. Kemampuan Dedi untuk berdebat dan mengajak dialog, seperti saat menghadapi demonstrasi buruh di Purwakarta, menunjukkan bahwa ia tidak hanya mendengarkan, tetapi juga mampu memberikan solusi konkret.
Gaya ini membuatnya dijuluki “Mulyono Jilid II,” mengacu pada tokoh legendaris Mulyono, mantan Bupati Purwakarta yang dikenal karena kedekatannya dengan budaya Sunda dan rakyat.
Julukan “Mulyono Jilid II” dan “Jokowinya Sunda”
Julukan “Mulyono Jilid II” mencerminkan warisan budaya Sunda yang kuat dalam kepemimpinan Dedi. Seperti Mulyono, Dedi dikenal sebagai pemimpin yang memajukan identitas lokal melalui seni, pendidikan, dan pariwisata.
Ia sering mempromosikan tradisi Sunda, seperti wayang golek dan batik Purwakarta, sambil tetap menangani isu-isu praktis seperti pembangunan infrastruktur. Julukan “Jokowinya Sunda” muncul karena gaya blusukannya yang mirip dengan Jokowi, tetapi dengan sentuhan khas Jawa Barat yang lebih vokal dan berbudaya.
Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat citra Dedi. Video-video aksinya, seperti membantu petani memperbaiki saluran irigasi atau berdialog dengan warga, sering kali viral, menarik perhatian generasi muda. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat basis politiknya, tetapi juga menjadikannya simbol kepemimpinan yang autentik di tengah krisis kepercayaan terhadap politisi.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun popularitas Dedi terus melonjak, ia menghadapi tantangan besar sebagai Gubernur Jawa Barat. Provinsi ini memiliki populasi terbesar di Indonesia, dengan masalah kompleks seperti kemacetan, urbanisasi, dan kesenjangan ekonomi. Gaya merakyatnya harus diimbangi dengan kebijakan strategis untuk mengatasi isu-isu ini, terutama jika ia ingin mempertahankan dukungan menjelang pemilu berikutnya.
Pengamat seperti Burhanuddin Muhtadi menilai bahwa kemampuan Dedi untuk berdialog dan menyelesaikan konflik secara langsung adalah aset besar. Namun, ia juga harus memastikan bahwa inisiatifnya tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga membawa dampak nyata bagi warga Jawa Barat.
Dengan dinamika politik nasional yang semakin kompetitif, Dedi Mulyadi bisa menjadi kandidat kuat untuk peran lebih besar, asalkan ia terus memanfaatkan keterampilan komunikasi dan kedekatannya dengan rakyat.
Ikon Baru dengan Gaya Unik
Dedi Mulyadi, dengan julukan “Mulyono Jilid II” dan “Jokowinya Sunda,” telah membuktikan bahwa keterampilan praktis—seperti kemampuan berdialog, menyelesaikan konflik, dan memahami kebutuhan rakyat—adalah kunci kepemimpinan yang sukses.
Meskipun sering dibandingkan dengan Jokowi, Dedi menawarkan gaya yang lebih vokal dan artikulatif, yang membuatnya menonjol di panggung politik Jawa Barat. Seperti yang dikatakan Burhanuddin Muhtadi, “Ketika koleganya tidak mau menemui demo buruh, dia temuin,” sebuah bukti bahwa keberanian dan keterampilan langsungnya telah membentuk citra sebagai pemimpin yang autentik.
Dengan pendekatan ini, Dedi Mulyadi tidak hanya memperkuat posisinya sebagai Gubernur, tetapi juga menjadi harapan baru bagi politik Indonesia yang lebih dekat dengan rakyat.
Untuk pembaruan tentang kiprah Dedi Mulyadi, pantau media terpercaya seperti Kompas TV atau Halaman.co.id.
- “Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih.” – Burhanuddin Muhtadi, On Point with Adisty, Kompas TV, 10 Mei 2025.
- “Waktu itu Purwakarta penuh dengan demo buruh. Ketika koleganya dari anggota DPRD Purwakarta tidak mau menemui demo-demo buruh, dia temuin. Ramai terjadi perdebatan sangat sengit, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontrak.” – Burhanuddin Muhtadi, On Point with Adisty, Kompas TV, 10 Mei 2025.
- “Sesuatu yang kalau kita bayangkan seorang Pak Jokowi agak beda. Pak Jokowi itu kan lebih banyak senyum, kalau ditanya, ‘Ya kok tanya saya’ gitu.” – Burhanuddin Muhtadi, On Point with Adisty, Kompas TV, 10 Mei 2025.