0
0

Dugaan Keterlibatan Budi Arie dalam Pengamanan Situs Judi Online

Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, diduga menerima bagian sebesar 50 persen dari praktik pengamanan situs judi online yang tidak diblokir oleh kementerian terkait

Jakarta – Sebuah skandal besar mengguncang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang kini berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dengan terungkapnya dugaan praktik suap untuk melindungi situs judi online dari pemblokiran.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mendakwa empat tersangka utama—Zulkarnaen Apriliantony, Adhi Kismanto, Alwin Jabarti Kiemas, dan Muhrijan alias Agus—dalam sidang perdana pada 14 Mei 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dan Kasus ini tidak hanya menguak jaringan korupsi di dalam kementerian, tetapi juga menyeret nama mantan Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi, yang diduga menerima jatah besar dari praktik ini. Dengan total setoran Rp15,3 miliar, kasus ini menjadi sorotan publik sebagai cerminan kegagalan sistem pengawasan di institusi pemerintah.

Awal Mula Skandal: Rekrutmen dan Kongkalikong

Kasus ini bermula pada Oktober 2023, ketika Budi Arie Setiadi, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kominfo, meminta Zulkarnaen Apriliantony, mantan komisaris BUMN PT HIN dan kader PDI Perjuangan, untuk mencari individu yang mampu mengumpulkan data situs judi online. Zulkarnaen, yang dikenal sebagai Tony Tomang, kemudian memperkenalkan Adhi Kismanto, seorang ahli IT, kepada Budi Arie.

Dalam pertemuan tersebut, Adhi mempresentasikan alat crawling data yang diklaim dapat mengidentifikasi situs-situs judi online, sebuah kemampuan yang seharusnya mendukung upaya pemblokiran konten ilegal.

Namun, alih-alih memperkuat penegakan hukum, Adhi Kismanto justru menjadi kunci dalam skema perlindungan situs judi online. Meskipun tidak lolos seleksi sebagai tenaga ahli Kominfo karena tidak memiliki gelar sarjana, Adhi tetap diterima bekerja atas “atensi” langsung dari Budi Arie.

Dan tugas resminya adalah mencari dan melaporkan situs judi online kepada Kepala Tim Take Down, Riko Rasota Rahmada, untuk diblokir. Namun, dalam praktiknya, Adhi diduga berkolusi dengan pihak lain untuk memastikan situs-situs tertentu tetap aktif dengan imbalan suap.

Jaringan Suap: Tarif dan Pembagian Keuntungan

Menurut surat dakwaan nomor register PDM-32/JKTSL/Eku.2/02/2025, Zulkarnaen, Adhi, Alwin Jabarti Kiemas, dan Muhrijan bekerja sama dengan sejumlah individu lain, termasuk Denden Imadudin Soleh, Fakhri Dzulfikar, dan Muchlis Nasution, untuk mengelola skema perlindungan situs judi online. Total 15 tersangka didakwa atas pelanggaran Pasal 27 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE, serta Pasal 303 ayat 1 KUHP, karena dengan sengaja mendistribusikan atau memfasilitasi akses ke konten perjudian.

Skema ini beroperasi dengan tarif Rp8 juta per situs judi online yang “dijaga” agar tidak diblokir. Dari jumlah tersebut, pembagian keuntungan disepakati dalam pertemuan di kafe Pergrams, Senopati, Jakarta Selatan, dengan Adhi Kismanto menerima 20%, Zulkarnaen Apriliantony 30%, dan Budi Arie Setiadi diduga mendapat jatah terbesar, yakni 50%.

Total setoran yang terkumpul mencapai Rp15,3 miliar, sebuah angka yang menunjukkan skala besar operasi ini. Dari 5.000 situs yang seharusnya diblokir, hanya 4.000 yang benar-benar ditindak, meninggalkan 1.000 situs aktif sebagai bagian dari skema suap ini.

Peran Kunci Para Tersangka

Zulkarnaen Apriliantony, yang memiliki koneksi politik kuat sebagai anggota tim pemenangan Pilkada PDI Perjuangan, berperan sebagai penghubung utama antara bandar judi online dan Kominfo. Ia juga merekrut Adhi Kismanto, yang menjadi pengelola teknis dalam skema ini.

Alwin Jabarti Kiemas, yang disebut-sebut sebagai keponakan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, bertugas memfilter dan memverifikasi situs judi online agar tetap aktif. Sementara itu, Muhrijan alias Agus, yang mengaku sebagai utusan direktur Kominfo, memanfaatkan informasi dari adiknya, Muchlis Nasution, untuk memeras Denden Imadudin Soleh sebesar Rp1,5 miliar agar praktik ini tidak dilaporkan.

Denden, sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Kominfo, seharusnya bertugas memantau dan memblokir konten ilegal seperti situs judi online. Namun, ia justru menjadi bagian dari jaringan yang memungkinkan situs-situs tersebut tetap beroperasi.

Pada Januari 2024, ketika banyak situs yang dikoordinasikan oleh Alwin dan Denden terkena blokir karena “patroli mandiri” Adhi Kismanto, Alwin hanya bersedia membayar “uang koordinasi” sebesar Rp280 juta, menolak memberikan “uang penjagaan” yang lebih besar.

Drama Pemerasan dan Pembagian Jatah

Pada awal 2024, Muhrijan mengetahui praktik ini melalui adiknya dan mulai memeras Denden dengan ancaman melaporkan skema tersebut kepada Menteri Kominfo. Dalam pertemuan di kafe Pergrams, Muhrijan berhasil meyakinkan Adhi untuk melanjutkan praktik ini, dengan dalih bahwa ada pihak di Kominfo yang menginginkannya. Ia menawarkan komisi 20% kepada Adhi dan Rp3 juta per situs kepada Zulkarnaen, sebelum akhirnya menyepakati pembagian yang lebih besar dengan jatah 50% untuk Budi Arie.

Pertemuan di kafe Pergrams menjadi titik krusial dalam skandal ini, di mana tarif dan pembagian keuntungan disepakati secara terbuka. Zulkarnaen, yang mengklaim kedekatannya dengan Budi Arie, memastikan bahwa praktik ini dapat berjalan tanpa hambatan, bahkan setelah Budi Arie mengetahui adanya skema ini pada April 2024. Dalam salah satu pertemuan, Zulkarnaen menyatakan bahwa ia telah “mengamankan” operasi ini berkat hubungannya dengan sang menteri.

Respons Budi Arie: Bantahan dan Framing Politik

Budi Arie Setiadi, yang kini menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM, membantah keterlibatannya dalam skandal ini. Ketika dihubungi Tempo, ia hanya merespons dengan dua emoji senyum dan mengirimkan video berdurasi 46 detik.

Dalam video tersebut, Budi Arie mengklaim tidak pernah meminta uang dari bisnis judi online, tidak pernah memberikan perintah untuk melindungi situs judi, dan tidak ada staf khususnya atau anggota Projo—organisasi yang ia dirikan—yang terlibat. Ia juga menuduh adanya “framing jahat” dari pihak tertentu yang terkait dengan partai mitra judi online, mengacu pada keterlibatan kader partai lain dalam kasus serupa.

Namun, pengakuan Budi Arie bahwa ia merekrut Adhi Kismanto atas rekomendasi Zulkarnaen Apriliantony menimbulkan pertanyaan tentang proses seleksi yang tidak transparan di Kominfo.

Budi Arie mengaku bahwa ia mengenal Zulkarnaen sejak menjadi relawan pendukung Joko Widodo pada 2014, tetapi menegaskan bahwa Zulkarnaen bukan pegawai resmi Kominfo. Ia juga mengklaim bahwa Adhi Kismanto “mengkhianatinya” dengan terlibat dalam praktik ilegal ini.

Implikasi dan Tantangan Hukum

Kasus ini menyoroti kelemahan sistemik dalam pengawasan dan penegakan hukum di Kominfo. Dari 24 tersangka yang ditangkap Polda Metro Jaya, 11 di antaranya adalah pegawai aktif Komdigi, menunjukkan skala besar keterlibatan internal.

Praktik suap ini tidak hanya merugikan upaya pemerintah untuk memberantas judi online, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengendalian konten digital.

Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Reza Prasetyo Handono, membenarkan bahwa sidang dakwaan telah digelar pada 14 Mei 2025. Proses hukum terhadap Zulkarnaen, Adhi, Alwin, dan Muhrijan menjadi ujian bagi sistem peradilan untuk mengungkap jaringan korupsi yang lebih luas, termasuk potensi keterlibatan pejabat tinggi.

Dampak Politik dan Sosial

Skandal ini juga memiliki dimensi politik yang signifikan. Keterlibatan Zulkarnaen Apriliantony, yang merupakan bagian dari tim pemenangan Pilkada PDI Perjuangan, dan Alwin Jabarti Kiemas, yang dikaitkan dengan Megawati Soekarnoputri, memicu spekulasi tentang politisasi kasus ini. Beberapa pihak di media sosial, seperti akun
@PartaiSocmed, menyerukan penyelidikan lebih lanjut terhadap Budi Arie, dengan menyebutnya sebagai dalang di balik skema ini. Namun, Budi Arie menegaskan bahwa kasus ini telah dipolitisasi untuk menyerang reputasinya.

Di sisi sosial, maraknya judi online telah menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional, dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun. Kegagalan Kominfo untuk memblokir situs-situs ini secara efektif, ditambah dengan dugaan korupsi internal, memperburuk persepsi publik terhadap komitmen pemerintah dalam menangani masalah ini.

Menuju Solusi: Reformasi dan Transparansi

Untuk mencegah kasus serupa di masa depan, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem pengawasan dan rekrutmen di Komdigi. Proses seleksi tenaga ahli harus transparan dan bebas dari intervensi pejabat tinggi.

Selain itu, penguatan literasi digital di masyarakat dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku judi online dapat menjadi langkah preventif. Seperti yang diungkapkan Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gunungkidul, kolaborasi lintas sektoral sangat penting untuk menangani permasalahan ini.

Skandal suap situs judi online di Kominfo adalah cerminan dari kerentanan institusi pemerintah terhadap praktik korupsi. Dengan total setoran Rp15,3 miliar dan dugaan keterlibatan mantan menteri, kasus ini menuntut penyelesaian hukum yang transparan dan tegas.

Sementara Budi Arie membantah keterlibatannya, fakta bahwa rekrutmen Adhi Kismanto dilakukan atas “atensi” pribadinya menimbulkan pertanyaan tentang integritas kepemimpinannya. Publik kini menantikan bagaimana proses hukum ini akan mengungkap kebenaran dan memastikan keadilan, sekaligus mendorong reformasi untuk mencegah skandal serupa di masa depan.

Untuk perkembangan terbaru, pantau situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau sumber berita terpercaya seperti Tempo.co (Sumber).

Baca Lagi

Direkomendasikan

World