JAKARTA — Pada 21 Mei 2025, dunia diguncang oleh pembunuhan tragis dua staf Kedutaan Besar Israel, Yaron Lischinsky (30) dan Sarah Lynn Milgrim (26), di luar Capital Jewish Museum, Washington, D.C. Pasangan yang tengah merencanakan pertunangan ini tewas ditembak Elias Rodriguez (31), yang dilaporkan meneriakkan “Free, free Palestine” usai ditangkap.
Insiden ini memicu reaksi keras dari para pemimpin dunia, dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutnya sebagai “pembunuhan antisemit yang mengerikan” dan Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa “kebencian dan radikalisme tidak memiliki tempat di Amerika.”
Namun, sorotan global yang begitu masif terhadap dua nyawa ini mengungkap kemunafikan media Barat dan sikap selektif Trump yang nyaris mengabaikan krisis kemanusiaan di Gaza, tempat lebih dari 53.000 warga Palestina telah tewas.
Media internasional, dari The New York Times hingga BBC, dengan cepat menyoroti pembunuhan Lischinsky dan Milgrim sebagai aksi terorisme dan kejahatan kebencian. Berita utama dipenuhi dengan narasi emosional tentang pasangan muda yang “sedang di puncak hidup mereka,” lengkap dengan detail menyentuh seperti rencana lamaran Lischinsky di Yerusalem.
Trump, dalam unggahannya di Truth Social, menyebut insiden ini “mengerikan” dan menyerukan agar “antisemitisme dihentikan sekarang.” Pemimpin Eropa seperti Kaja Kallas dari Uni Eropa dan David Lammy dari Inggris turut mengutuk keras, menyebutnya “tindakan antisemit yang menjijikkan.”
Namun, di balik sorotan ini, ada keheningan yang memekakkan telinga terhadap kematian lebih dari 53.000 warga Palestina—angka yang menurut Kementerian Kesehatan Gaza terus mendekati 70.000—akibat serangan militer Israel sejak Oktober 2023.
Ketimpangan ini bukan sekadar perbedaan skala, melainkan cerminan kemunafikan sistemik dalam liputan media Barat dan sikap politik Trump. Media seperti The Washington Post dan AP News dengan sigap mempublikasikan foto-foto dramatis dari tempat kejadian di Washington, lengkap dengan narasi tentang “ancaman antisemitisme yang meningkat.”
Sementara itu, laporan tentang Gaza sering kali tereduksi menjadi angka-angka tanpa wajah, dengan sedikit empati terhadap perempuan dan anak-anak yang tewas dalam serangan udara atau kelaparan akibat blokade Israel. Sebuah unggahan di platform X menangkap sentimen publik dengan tajam:
“Media Barat ramai memberitakan pembunuhan tragis dua warga Yahudi, namun tak peduli dengan lebih dari 70.000 warga Palestina yang dibantai. Mungkin dua nyawa lebih mudah dipahami daripada 70.000.”
Trump, yang dengan lantang mengutuk pembunuhan di Washington, menunjukkan sikap ambivalen terhadap krisis Gaza. Meskipun ia sempat menyebut warga Gaza “kelaparan” dan “layak mendapatkan masa depan yang lebih baik” selama kunjungannya ke Timur Tengah pada Mei 2025, pernyataannya lebih sering memihak Israel.
Februari lalu, Trump mengusulkan agar AS “mengambil alih” Gaza dan memindahkan penduduknya secara permanen, sebuah rencana yang dikutuk sebagai “pembersihan etnis” oleh banyak pihak, termasuk juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Pernyataan ini, yang disambut gembira oleh sayap kanan Israel, menunjukkan prioritas Trump: mendukung agenda Israel sambil mengabaikan penderitaan jutaan warga Palestina yang kehilangan rumah, keluarga, dan harapan akibat perang yang telah berlangsung 19 bulan.
Media Barat juga tak luput dari kritik. Laporan The New York Times tentang perang Israel-Hamas pernah dikecam karena menyebarkan klaim Hamas tanpa verifikasi, seperti insiden ledakan rumah sakit Al-Ahli pada Oktober 2023 yang awalnya disalahkan pada Israel, padahal bukti menunjukkan itu adalah roket gagal dari Jihad Islam Palestina.
Kesalahan ini memicu kerusuhan di Timur Tengah, namun media Barat jarang memberikan perhatian serupa pada laporan pelanggaran hukum internasional oleh Israel, seperti penghancuran infrastruktur Gaza atau blokade bantuan kemanusiaan yang menyebabkan kelaparan massal.
Data dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menunjukkan bahwa sejak 2008, ribuan warga Palestina tewas atau terluka, namun liputan tentang krisis ini sering kali tersisih demi narasi yang lebih “menarik” seperti pembunuhan di Washington.
Saksi mata di acara Capital Jewish Museum, Yoni Kalin, menyesalkan ironi kekerasan tersebut: “Acara ini tentang bantuan kemanusiaan, bagaimana kita bisa membantu rakyat Gaza dan Israel. Tapi kemudian dua orang dibunuh dengan darah dingin.”
Namun, ironisnya, diskusi kemanusiaan itu tidak mencerminkan perhatian dunia terhadap Gaza. Serangan Israel di Jabalia, Gaza, pada Mei 2025, menewaskan lebih dari 80 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, namun tidak memicu kecaman sebanding dari Trump atau media Barat. Sebaliknya, narasi “antisemitisme” mendominasi, mengesampingkan fakta bahwa 90% penduduk Gaza kini mengungsi, hidup dalam kondisi yang digambarkan PBB sebagai “bencana kemanusiaan yang tak tertahankan.”
Kemunafikan ini juga terlihat dalam respons politik. Pemimpin Eropa yang dengan cepat mengutuk pembunuhan di Washington—seperti Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot dan Johann Wadephul dari Jerman—sering kali hanya memberikan pernyataan simbolis tentang Gaza, tanpa tindakan nyata untuk menekan Israel menghentikan serangan.
Sementara itu, Trump, yang mengklaim ingin “mengakhiri konflik brutal” di Gaza, justru mendukung rencana Netanyahu untuk memperluas operasi militer, yang telah menyebabkan kehancuran massal dan kelaparan. Qatar, meskipun mengutuk pembunuhan di Washington, dikritik karena tidak bersuara cukup keras terhadap pembantaian harian di Gaza, mencerminkan standar ganda dalam diplomasi internasional.
Polemik ini menyingkap kebenaran yang pahit: nyawa manusia dinilai berbeda di panggung global. Fokus berlebihan pada pembunuhan dua warga Israel, meskipun tragis, mengerdilkan penderitaan puluhan ribu warga Palestina yang kehilangan nyawa, rumah, dan martabat.
Media Barat dan Trump, dengan narasi selektif mereka, gagal mencerminkan skala krisis kemanusiaan di Gaza. Seperti yang dikatakan Jojo Kalin, “Israel dan Palestina sama-sama berhak atas penentuan nasib sendiri.” Namun, hingga dunia menghentikan kemunafikan dan biasnya, perdamaian sejati hanyalah ilusi di tengah tumpukan puing dan darah.