LiputanKhusus.com — Dunia tersentak. Di tengah malam yang sepi, saat harapan untuk kemanusiaan mendekat ke pantai Gaza yang terkepung, pasukan Israel bergerak diam-diam. Target mereka bukan kelompok bersenjata, bukan markas militan—melainkan sebuah kapal layar penuh relawan sipil, pembawa bantuan pangan, obat-obatan, dan suara solidaritas global. Di antara para aktivis itu, ada satu nama yang mengguncang dunia: Greta Thunberg.
Aktivis lingkungan asal Swedia yang telah menginspirasi jutaan anak muda untuk melawan krisis iklim, kini menjadi korban penculikan oleh kekuatan militer negara yang mengklaim diri sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah.
Malam yang Membawa Teror
Tanggal 9 Juni 2025, kapal layar Madleen milik Freedom Flotilla Coalition (FFC) mendekati perairan Gaza sekitar pukul 01.17 dini hari. Para kru menyalakan alarm: mereka sedang mendekati zona paling diblokade di dunia. Namun yang menyambut mereka bukan warga Gaza yang kelaparan, melainkan pasukan elite angkatan laut Israel, Shayetet 13.
Hanya berselang 43 menit kemudian, pada pukul 02.00, tentara Israel menyergap kapal Madleen di perairan internasional. Bukan perairan Israel. Bukan zona konflik. Tapi wilayah hukum laut global, di mana serangan semacam itu disebut banyak pakar sebagai pelanggaran hukum internasional terang-terangan.
Suara dari Dalam Kapal: “Kami Diculik”
Video yang diunggah FFC lewat Telegram dan X menunjukkan suasana genting. Para aktivis mengenakan pelampung, duduk dalam diam, tangan diangkat—bukan karena mereka bersalah, tetapi karena mereka diperlakukan seperti kriminal oleh negara bersenjata nuklir.
Kemudian, suara Greta muncul dalam rekaman yang jadi viral:
“Nama saya Greta Thunberg. Jika kalian melihat video ini, kami sudah dicegat dan diculik di perairan internasional oleh pasukan pendudukan Israel.”
Tak ada keraguan. Bukan “diamankan”, bukan “ditahan”—tetapi diculik. Kata itu keluar dari mulut seorang remaja yang dikenal dunia karena keberaniannya menantang para pemimpin global, dan kini menjadi korban brutalitas negara yang menolak dikritik.
Israel: “Kapal Selfie Selebriti”
Alih-alih menjelaskan tindakan militer mereka dengan transparan, Kementerian Luar Negeri Israel malah melecehkan insiden ini. Dalam pernyataan resminya di media sosial, mereka menyebut kapal Madleen sebagai:
“Kapal pesiar selfie para selebriti.”
Kehadiran Greta dan aktivis lainnya dianggap hanya sebagai aksi “provokasi media untuk mendapat publisitas.” Seolah bantuan medis dan makanan ke wilayah yang dikepung tanpa listrik dan air bersih adalah bagian dari reality show.
Pernyataan ini melecehkan nurani global. Bahkan bagi mereka yang mendukung Israel, membajak kapal sipil di perairan internasional dan menculik relawan seharusnya menjadi tanda tanya besar: Apakah ini masih tentang pertahanan diri? Atau sudah berubah menjadi paranoia kejam tanpa batas?
Di Bawa ke Pelabuhan Ashdod, Dunia Menonton
Setelah disergap, kapal Madleen dipaksa menuju Pelabuhan Ashdod di wilayah Israel. Para aktivis, termasuk Greta, diputus dari komunikasi, diminta mematikan ponsel, dan dibungkam.
Hingga artikel ini ditulis, kondisi para aktivis belum dipastikan. Apakah mereka diproses hukum? Dipenjara? Dideportasi? Tidak ada kepastian. Yang ada hanyalah keheningan yang mencekam dan keprihatinan internasional yang terus membesar.
Reaksi Dunia: Simpati atau Diam?
Kecaman mulai mengalir dari berbagai penjuru. Namun, seperti biasa, negara-negara besar yang bersahabat dengan Israel masih memilih diam. PBB pun belum mengeluarkan resolusi tegas atas insiden ini, seolah penculikan terhadap aktivis sipil bukan prioritas.
Namun masyarakat sipil bergerak. Kampanye #FreeGreta dan #FreeTheFlotilla mulai menggema di media sosial. Ribuan petisi diluncurkan untuk mendesak pembebasan mereka dan menyerukan boikot diplomatik terhadap Israel atas pelanggaran HAM terang-terangan ini.
Kesimpulan: Penculikan Ini Adalah Simbol
Kapal Madleen tidak hanya membawa makanan, obat, dan pesan damai. Ia membawa cermin — dan dunia kini dipaksa melihat pantulan yang selama ini enggan diakui:
Bahwa kekejaman bisa dilakukan atas nama pertahanan diri, dan kejahatan bisa dibungkus dengan propaganda.
Ketika seorang remaja seperti Greta Thunberg harus menyatakan dirinya “diculik” oleh sebuah negara demokrasi, maka ini bukan lagi tentang politik. Ini tentang hak dasar manusia, dan batas akhir kesabaran dunia.