LiputanKhusus.com, Teheran – Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali memanas setelah Iran secara resmi memutuskan untuk menghentikan seluruh bentuk kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Keputusan tersebut membuat tim inspektur IAEA akhirnya meninggalkan Teheran pada Jumat (4/7), usai lebih dari dua minggu bertahan di ibu kota Iran selama konflik militer dengan Israel dan Amerika Serikat berlangsung.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis melalui platform X, IAEA menyampaikan bahwa para inspekturnya telah dipulangkan ke kantor pusat di Wina, Austria. Lembaga pengawas nuklir PBB itu menegaskan pentingnya dialog diplomatik dengan Teheran guna melanjutkan kembali proses pemantauan dan verifikasi aktivitas nuklir Iran.
Konflik 12 Hari dan Retaknya Kepercayaan
Konflik terbaru dimulai pada 13 Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan udara terhadap fasilitas militer Iran dan menewaskan sejumlah petinggi militer, ilmuwan senior, serta warga sipil. Serangan tersebut memicu eskalasi yang membuat Amerika Serikat ikut terlibat dengan menjatuhkan bom penghancur bunker ke sejumlah lokasi nuklir Iran. Pemerintahan Trump mengklaim serangan itu berhasil “memundurkan program nuklir Iran hingga dua tahun.”
Namun langkah militer ini justru memperburuk hubungan antara Iran dan IAEA. Pemerintah Iran menyatakan kekecewaannya terhadap sikap IAEA yang dinilai pasif dan tidak mengutuk serangan militer terhadap fasilitas dan ilmuwan nuklirnya. Kekecewaan itu kian mendalam setelah IAEA mengeluarkan resolusi pada 12 Juni—sehari sebelum serangan Israel—yang menuduh Iran tidak patuh terhadap kewajiban nuklirnya.
Iran Putuskan Hentikan Kerja Sama, IAEA Diusir Pulang
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, pada Rabu lalu secara resmi memerintahkan penghentian kerja sama dengan IAEA. Keputusan ini mengacu pada rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen Iran dan disetujui Dewan Penjaga Konstitusi. Juru bicara Dewan, Hadi Tahan Nazif, menyebut keputusan ini sebagai bentuk “penghormatan penuh terhadap kedaulatan nasional dan integritas teritorial Republik Islam Iran.”
Dalam siaran televisi nasional, disebutkan bahwa penghentian kerja sama dengan IAEA akan berlaku hingga beberapa syarat terpenuhi, termasuk jaminan keamanan total bagi fasilitas dan ilmuwan nuklir Iran.
Reaksi Internasional: AS Kecam, Iran Teguh pada NPT
Langkah Iran ini menuai kritik tajam dari Washington. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyebut keputusan Teheran “tidak dapat diterima” dan menyerukan agar Iran “segera mengubah arah dan memilih jalan damai serta kemakmuran.” Ia menegaskan kembali posisi AS bahwa, “Iran tidak boleh dan tidak akan memiliki senjata nuklir.”
Di sisi lain, pemerintah Iran tetap bersikukuh bahwa program nuklirnya ditujukan untuk kepentingan sipil, bukan untuk pengembangan senjata. Pernyataan itu diperkuat oleh fakta bahwa hingga saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan Iran tengah mengembangkan senjata nuklir, baik dari intelijen AS maupun hasil investigasi IAEA sendiri.
Situasi Genting, Masa Depan Pengawasan Nuklir Dipertanyakan
Keluarnya inspektur IAEA dari Iran memunculkan kekhawatiran internasional akan hilangnya transparansi dalam pengawasan program nuklir negara tersebut. Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, menekankan pentingnya menjaga jalur komunikasi terbuka dengan Iran agar lembaga internasional itu dapat kembali menjalankan misinya.
Ketegangan ini menjadi ujian besar bagi kesepakatan non-proliferasi global. Meski Iran menyatakan tetap terikat pada Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), hilangnya akses pengawasan internasional bisa menjadi celah bagi meningkatnya kecurigaan dan ketegangan geopolitik.
Langkah Iran menarik diri dari kerja sama dengan IAEA bukan hanya reaksi terhadap serangan militer, tetapi juga cerminan mendalam dari krisis kepercayaan terhadap lembaga internasional. Di tengah situasi yang terus memanas, dunia kini menanti: akankah diplomasi kembali mengambil alih, atau justru konflik akan memasuki babak baru yang lebih berbahaya?