LIPUTANKHUSUS.COM, Teheran — Kementerian Kesehatan Iran melaporkan bahwa sebagian besar korban jiwa akibat serangan udara Israel sejak Jumat adalah warga sipil, bukan hanya personel militer atau ilmuwan nuklir sebagaimana klaim dari pihak Israel. Hingga hari ketiga serangan, jumlah korban tewas mencapai lebih dari 80 orang, dengan lebih dari 60 di antaranya merupakan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Pernyataan resmi dari pemerintah Iran menyebutkan bahwa serangan udara Israel menghantam kawasan pemukiman padat penduduk di Teheran, Isfahan, dan Shiraz. Beberapa fasilitas umum seperti rumah sakit kecil, sekolah, serta area pemukiman dilaporkan mengalami kerusakan parah. Gambar satelit dan dokumentasi lapangan yang dipublikasikan media internasional seperti Reuters dan Al Jazeera mengonfirmasi adanya kehancuran besar di wilayah non-militer.
Pernyataan dari Juru Bicara Pemerintah Iran, Ali Bahadori Jahromi, menegaskan bahwa “tidak ada fasilitas militer atau nuklir yang signifikan di area yang diserang”. Ia menuduh Israel sengaja menargetkan warga sipil untuk menciptakan teror dan menggiring opini publik internasional bahwa Iran tidak mampu menjaga kestabilan domestiknya.
Di sisi lain, Israel melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa serangan tersebut adalah bagian dari upaya “pencegahan ancaman nuklir Iran yang semakin nyata”. Namun, sampai saat ini belum ada bukti konkret bahwa Iran sedang berada dalam fase akhir pengembangan senjata nuklir. Bahkan, laporan IAEA (International Atomic Energy Agency) terbaru pada 12 Juni tidak menyebut adanya pelanggaran aktif atau bukti langsung mengenai pembangunan bom nuklir oleh Iran.
Lembaga HAM internasional, seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, telah menyerukan investigasi independen atas dugaan kejahatan perang dalam serangan Israel tersebut. “Jika benar mayoritas korban adalah sipil dan targetnya bukan fasilitas militer yang sah menurut hukum humaniter internasional, maka ini merupakan pelanggaran serius,” ujar Kenneth Roth, mantan Direktur Eksekutif HRW.
Kritik terhadap Israel juga muncul dari berbagai negara. Rusia, Tiongkok, Brasil, dan beberapa negara anggota OKI mengecam keras serangan tersebut dan menuntut Dewan Keamanan PBB untuk segera menggelar sidang darurat. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyatakan bahwa “serangan terhadap warga sipil adalah aksi teroris yang disamarkan dalam nama diplomasi pertahanan”.
Fakta bahwa korban sipil mendominasi daftar korban tewas membantah secara terang-terangan klaim Israel bahwa mereka hanya membidik fasilitas berbahaya. Bahkan jika ada satu atau dua target yang berhubungan dengan sistem pertahanan Iran, cara dan skala serangan tidak proporsional serta melanggar prinsip-prinsip hukum perang internasional.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Oxford, Prof. Tanya Goren, mengatakan kepada The Guardian: “Israel tampaknya sedang memainkan kartu keamanan nasional untuk membenarkan aksi yang lebih condong ke arah intimidasi dan penghancuran moral, bukan pertahanan semata.”
Dengan data yang ada saat ini, sulit membantah bahwa Israel setidaknya secara tak langsung telah melakukan tindakan yang mengarah ke kejahatan terhadap kemanusiaan. Motif sesungguhnya bukan soal menghentikan senjata nuklir yang belum terbukti ada, tetapi lebih pada unjuk kekuatan dan pengalihan perhatian dari isu internal Israel serta kecaman internasional terhadap genosida di Gaza.
Sementara itu, Iran mengklaim haknya untuk membela diri dan sedang mempersiapkan aduan resmi ke Mahkamah Internasional. Dunia kini menanti apakah komunitas internasional akan tetap membiarkan standar ganda berlaku dalam konflik global, atau mulai menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.