0
0

Kebijakan Kontroversial: Menlu AS Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina

LiputanKhusus.com, Jakarta – Amerika Serikat kembali menjadi sorotan dunia setelah Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengonfirmasi pencabutan lebih dari 300 visa mahasiswa asing yang dianggap pro-Palestina.

Kebijakan ini, yang disebut sebagai bagian dari pendekatan agresif pemerintahan Presiden Donald Trump, memicu kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk aktivis hak asasi manusia dan anggota Kongres.

Salah satu kasus yang paling mencuri perhatian adalah penangkapan Rumeysa Ozturk, mahasiswi asal Turkiye yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Tufts.

Ozturk ditangkap oleh agen berpakaian sipil setelah menulis opini di surat kabar kampus yang menyebut aksi Israel di Gaza sebagai genosida. Penangkapan ini tidak hanya melanggar hak hukum Ozturk tetapi juga memicu kekhawatiran tentang kebebasan berbicara di kampus-kampus AS.

Pengacaranya, Mahsa Khanbabai, menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak konstitusional.

“Klien saya ditangkap secara ilegal dan tidak diberi akses ke pengacara. Ini adalah pelanggaran yang tidak dapat diterima,” ujarnya.

Dalam kunjungannya ke Guyana, Rubio menegaskan bahwa visa adalah pemberian dari pemerintah AS dan tidak tunduk pada pengadilan mana pun.

Dia juga menyatakan bahwa kebijakan ini tidak menyasar semua mahasiswa asing, melainkan mereka yang dianggap mengganggu ketertiban di kampus atau mendukung kelompok seperti Hamas.

Namun, pernyataan ini tidak meredakan kritik. Anggota Kongres Ayanna Pressley menyebut tindakan ini sebagai upaya membungkam kebebasan berbicara.

“Ini adalah pelanggaran mengerikan terhadap hak konstitusional mahasiswa untuk mendapatkan proses hukum dan menyuarakan pendapat mereka,” kata Pressley.

Kasus Ozturk bukan satu-satunya. Mahmoud Khalil, seorang pemimpin demonstrasi pro-Palestina di Universitas Columbia, juga ditahan dan menghadapi deportasi meskipun ia adalah penduduk tetap AS.

Kebijakan ini memicu kekhawatiran bahwa kebebasan akademik di AS sedang berada di bawah ancaman serius.

Banyak pengamat menilai bahwa pencabutan visa berdasarkan opini politik berpotensi menciptakan ketakutan di kalangan mahasiswa asing. Kampus, yang seharusnya menjadi tempat untuk diskusi bebas dan terbuka, kini menjadi medan pertempuran ideologi.

Kebijakan ini juga memiliki dampak luas terhadap hubungan internasional AS, terutama dengan negara-negara yang warganya menjadi sasaran pencabutan visa.

Turkiye, misalnya, telah mengajukan protes resmi terhadap penangkapan Ozturk, menyebutnya sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip hukum internasional.

Di tengah ketegangan ini, pertanyaan besar muncul: apakah kebijakan ini benar-benar melindungi keamanan nasional, atau justru merusak reputasi AS sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan?

Dunia kini menunggu langkah berikutnya dari pemerintahan Trump, sementara kampus-kampus AS menghadapi tantangan besar dalam menjaga kebebasan akademik.

Baca Lagi

Direkomendasikan

World