0
0

Penculikan Mahmoud Khalil: Tindakan Fasis yang Mengancam Kebebasan Akademik

LiputanKhusus.com, Jakarta – Pada Sabtu 8 Maret, Mahmoud Khalil, seorang warga Palestina yang sah dan permanen tinggal di Amerika Serikat, diculik oleh agen-agen Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE) dari rumahnya di Columbia University.

Aksi tersebut terjadi tepat di depan istrinya yang tengah mengandung. Khalil dikenal sebagai sosok yang aktif dalam mediasi antara mahasiswa Columbia dan universitas, dalam rangka menyuarakan protes terhadap kebijakan Israel yang memicu genosida di Palestina.

Tak hanya itu, ia juga merupakan bagian dari gerakan mahasiswa pro-Palestina yang semakin besar di kampus-kampus Amerika Serikat, sebuah gerakan yang semakin mengkritik keras kebijakan luar negeri AS terkait Palestina.

Setelah diculik, Khalil langsung dibawa ke fasilitas penahanan di Louisiana yang terkenal dengan perlakuan buruk terhadap tahanan.

Kejadian ini mendapatkan perhatian luas, bahkan Presiden Donald Trump merayakan penahanan Khalil dan menyebutnya sebagai “penangkapan pertama dari banyak penangkapan lainnya” dalam sebuah pernyataan yang menambah ketegangan.

Meskipun pada Senin malam, seorang hakim federal mengeluarkan perintah untuk sementara memblokir upaya deportasi Khalil, perjuangan hukum yang akan dihadapi oleh Khalil masih panjang dan penuh tantangan.

Penculikan ini telah mengguncang banyak kalangan, terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis yang memperjuangkan kebebasan berbicara dan keadilan sosial.

Namun yang lebih penting, insiden ini bukan sekadar tindakan kriminal terhadap seorang individu, melainkan sebuah potret nyata dari kecenderungan fasisme yang kini mengancam kebebasan akademik di Amerika Serikat.

Fasisme dalam Bentuk yang Terlihat Jelas

Khalil bukanlah satu-satunya individu yang menjadi sasaran dari kebijakan represif pemerintahan Trump.

Penculikannya adalah bagian dari narasi lebih besar yang sedang berlangsung: serangan terhadap kebebasan berbicara dan hak-hak fundamental yang seharusnya dilindungi oleh Konstitusi Amerika Serikat. Ini adalah bentuk fasisme yang semakin terang-terangan, yang tidak hanya mengancam individu-individu tertentu, tetapi juga menargetkan kelompok mahasiswa dan fakultas yang berani mengkritik kebijakan luar negeri AS yang mendukung Israel.

Pemerintahan Trump, sejak awal masa jabatannya, telah menandatangani puluhan perintah eksekutif yang menyerang hak-hak konstitusional dasar, mengkriminalkan kelompok-kelompok yang sudah terpinggirkan, dan menyerang gerakan mahasiswa yang mengangkat isu-isu keadilan sosial.

Gerakan mahasiswa pro-Palestina di kampus-kampus AS semakin mendapat perhatian setelah tragedi 7 Oktober 2023, ketika ribuan mahasiswa dan dosen bersatu menyuarakan protes terhadap genosida yang dilakukan oleh Israel di Palestina.

Pada saat yang sama, gerakan ini juga mendapat perlawanan keras dari kelompok-kelompok yang pro-Israel, yang menggiringnya menjadi sebuah agenda politik yang lebih besar.

Salah satu langkah penting dalam serangan ini adalah perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Trump pada 29 Januari 2024, yang menargetkan mahasiswa dan staf universitas yang mendukung Palestina.

Pemerintah AS bahkan mengancam untuk memotong dana federal yang diberikan kepada universitas seperti Columbia University, dengan alasan bahwa universitas tersebut gagal untuk “melindungi” terhadap anti-Semitisme, meskipun tindakan tersebut sebenarnya lebih berkaitan dengan upaya menekan kebebasan berbicara mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan Israel.

Universitas sebagai Alat Politik: Meninggalkan Kebebasan Akademik

Di tengah ancaman yang semakin nyata, respons banyak universitas justru menunjukkan ketakutan dan kekurangan keberanian untuk melindungi mahasiswa dan fakultas mereka.

Sebagai contoh, Columbia University, tempat Khalil belajar dan bekerja, sudah lama mengeluarkan kebijakan disipliner yang semakin ketat terhadap mahasiswa Palestina dan pendukungnya.

Sebelum penculikan Khalil, banyak mahasiswa dan dosen Palestina yang sudah mendapatkan perlakuan tidak adil dari pihak universitas, yang lebih memilih untuk menjaga hubungan dengan donor dan kelompok politik yang berpengaruh daripada mempertahankan prinsip kebebasan akademik yang sejati.

Selain itu, universitas-universitas di AS semakin berada di bawah tekanan dari politisi, donor, pengurus, dan kelompok lobi pro-Israel untuk mengontrol dan mengurangi ruang gerak bagi mahasiswa yang mengkritik kebijakan Israel.

Bahkan, beberapa universitas memilih untuk melibatkan diri dalam pengawasan terhadap mahasiswa dan staf yang terlibat dalam gerakan pro-Palestina, termasuk dengan menyetujui kebijakan anti-protes dan pembatasan kebebasan berbicara.

Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat yang melindungi kebebasan berpendapat, sebagai salah satu prinsip dasar dari pendidikan tinggi yang progresif.

Alih-alih melawan ancaman ini, banyak universitas justru menyerah pada tekanan politik dan tekanan dari luar, sehingga mereka memilih untuk mengorbankan kebebasan akademik demi kepentingan politik tertentu. Ini menciptakan situasi di mana mahasiswa dan fakultas yang kritis terhadap kebijakan pemerintah atau negara lain justru menjadi sasaran intimidasi dan represi.

Bahkan, di beberapa kampus, tindakan represif ini berlanjut dengan hukuman disipliner yang dijatuhkan pada mahasiswa hanya karena terlibat dalam aksi protes damai atau bahkan hanya menyuarakan opini mereka di ruang publik.

Menangkal Serangan terhadap Kebebasan Berbicara dan Kebebasan Akademik

Di tengah krisis ini, universitas-universitas di Amerika Serikat harus mengambil sikap tegas dan berani untuk membela kebebasan berbicara dan kebebasan akademik.

Mereka tidak hanya harus mempertahankan hak mahasiswa dan fakultas untuk mengkritik kebijakan luar negeri AS atau kebijakan negara lain, tetapi juga harus menolak segala bentuk diskriminasi terhadap mahasiswa Palestina dan pendukung mereka.

Universitas harus menyadari bahwa gerakan mahasiswa yang memperjuangkan keadilan untuk Palestina bukanlah ancaman, tetapi bagian dari tradisi panjang kebebasan berbicara yang menjadi dasar dari pendidikan tinggi yang progresif.

Sebagai bagian dari upaya untuk melawan fasisme yang semakin mengancam, universitas-universitas harus berdiri teguh dalam menolak kebijakan dan tindakan yang mencoba membungkam suara-suara kritis di kampus.

Mereka juga harus menanggapi dengan serius seruan untuk mengakhiri keterlibatan universitas dalam industri-industri yang berkolusi dengan kekerasan dan penindasan, seperti industri militer dan senjata.

Jika universitas benar-benar ingin menjalankan peran mereka sebagai tempat penciptaan pengetahuan dan pemikiran kritis, maka mereka harus siap untuk berhadapan dengan kekuatan politik yang berusaha menekan kebebasan ini.

Menjaga Kebebasan Akademik: Perlawanan Terhadap Otoritarianisme

Kebebasan akademik adalah garis pertahanan terakhir terhadap kemerosotan demokrasi dan kebebasan sipil di seluruh dunia.

Apa yang terjadi pada Mahmoud Khalil bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga serangan terhadap prinsip dasar dari pendidikan tinggi itu sendiri. Jika universitas menyerah pada tekanan politik yang semakin besar ini, maka mereka tidak hanya mengorbankan mahasiswa mereka, tetapi juga masa depan kebebasan akademik dan demokrasi.

Universitas harus menolak untuk terlibat dalam pengawasan yang merugikan mahasiswa dan staf mereka, dan harus mengutuk setiap bentuk politik yang mencoba menggunakan kampus sebagai alat penindasan. Ini adalah waktu yang menentukan bagi dunia akademik: apakah universitas akan memilih untuk melindungi kebebasan berpikir, atau menyerah pada ancaman fasis yang semakin besar.

Ketika kebebasan berbicara dan hak-hak asasi manusia terancam, saatnya bagi dunia akademik untuk mengambil sikap dan berdiri teguh dalam memperjuangkan keadilan sosial, kebebasan berbicara, dan hak-hak fundamental yang melindungi setiap individu.

Baca Lagi

Direkomendasikan

World