0
0

Pendudukan Brutal: Tiga Warga Palestina Dibunuh, Bocah 15 Tahun Tewas, Dunia Masih Bungkam

Serangan brutal pemukim Israel di Kafr Malik dan penembakan bocah 15 tahun di Al-Yamoun kembali menunjukkan wajah kejam pendudukan di Tepi Barat. Kekerasan meningkat, namun dunia tetap gagal menghentikan pembantaian atas nama keamanan

LIPUTANKHUSUS.com — Awan kelabu menggantung di langit Kafr Malik, Tepi Barat, namun bukan cuaca yang mencekam penduduk, melainkan bayang kekerasan yang terus datang dari arah pemukim Israel. Pada Rabu pagi yang mestinya damai, puluhan pemukim ilegal Israel menyerbu desa kecil ini, menyalakan api pada mobil-mobil warga, dan memicu kekacauan yang berujung pembunuhan tiga warga Palestina oleh pasukan Israel.

Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan bahwa tiga warga sipil terbunuh dan tujuh lainnya mengalami luka-luka serius. Di tengah kekacauan, tentara Israel menyebut “pasukan mendapat serangan batu dan tembakan,” seakan menjustifikasi peluru tajam yang mereka hujani ke warga sipil.

Namun, narasi Israel mulai usang. Di dunia di mana segala peristiwa direkam dan disebarkan dalam hitungan detik, kebenaran tak mudah dibungkam. Video yang beredar memperlihatkan mobil-mobil warga Palestina terbakar, diduga kuat dibakar pemukim yang merasa dilindungi pasukan Israel, bukan diadili.

Pembunuhan Anak yang Berulang: “Kebetulan” yang Terlalu Sering

Di tempat lain, di kota kecil Al-Yamoun dekat Jenin, seorang anak lelaki berusia 15 tahun, Rayan Tamer Houshiyeh, tewas tertembak peluru tajam Israel — tepat di bagian leher. Red Crescent Palestina melaporkan bahwa penembakan terjadi saat serangan militer mendadak berlangsung.

Ini bukan pertama kali. Bahkan bukan yang kedua. Dalam dua hari terakhir, dua remaja Palestina telah tewas di tangan pasukan Israel. Hanya beberapa pekan sebelumnya, seorang anak 14 tahun juga dibunuh di Sinjil dengan dalih “melempar batu.” Ironisnya, ketika anak-anak bersenjatakan batu dibunuh, para pemukim dewasa yang membawa senjata otomatis justru dibiarkan bebas berkeliaran.

Pemerintah Israel, Pemicu Kekacauan

Hussein al-Sheikh, pejabat senior Palestina, dengan getir menulis di platform X bahwa “pemerintah Israel dengan perilaku dan keputusannya sedang mendorong wilayah ini ke jurang ledakan.” Seruan agar komunitas internasional bertindak bukan hanya tangisan putus asa, tapi permintaan darurat dari rakyat yang tiap hari melihat anak-anak mereka tewas tanpa perhitungan.

Namun, dunia tetap diam. Negara-negara besar yang konon menjunjung nilai hak asasi manusia justru terus memasok senjata dan perlindungan politik kepada rezim yang kini tercatat telah membunuh 941 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023, sebagian besar dari mereka bukanlah pejuang bersenjata, melainkan anak-anak, wanita, dan warga sipil.

Dunia yang Tuli dan Mata yang Sengaja Tertutup

Ketika 35 warga Israel tewas dalam berbagai insiden selama periode yang sama, angka 941 di pihak Palestina memperlihatkan rasio pembunuhan yang amat timpang. Namun framing global tetap berpihak pada narasi “pembelaan diri Israel.” Dunia buta terhadap akar masalah: penjajahan yang berlangsung sejak 1967, yang terus membengkak dengan pembangunan permukiman ilegal dan pembiaran terhadap kekerasan pemukim.

Tepi Barat telah menjadi medan perburuan terbuka, di mana warga Palestina hanya punya dua pilihan: melawan dengan batu dan dibunuh, atau diam dan tetap ditindas.

Keadilan atau Ledakan yang Lebih Besar

Kekejaman ini bukan sekadar konflik, tapi sistematis dan terstruktur — bentuk kolonialisme modern yang dibungkus dengan klaim “keamanan nasional.” Bila dunia terus memilih diam, maka ledakan besar di kawasan bukan lagi kemungkinan, tapi keniscayaan.

Israel bukan korban dalam konflik ini — ia adalah kekuatan penjajah yang terus menekan dan membunuh dengan impunitas. Dan selama masyarakat internasional memilih bersikap sebagai penonton, darah anak-anak Palestina akan terus mengalir — menyatu dalam tanah yang telah mereka warisi, tapi terus dirampas siang dan malam.

Jika dunia tidak segera bertindak, pertumpahan darah di Palestina akan menjadi noda permanen dalam sejarah kemanusiaan. Dan kita semua akan menjadi bagian dari kejahatan itu — entah sebagai pelaku, penyokong, atau yang memilih diam.

Baca Lagi

Direkomendasikan

World