0
0

Pertamax dan BBM Lain Naik Harga Mulai 1 Juli: Ini Alasan Resmi Pertamina

LiputanKhusus.com, Jakarta — Memasuki awal bulan Juli 2025, PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi di seluruh wilayah Indonesia. Melalui entitas anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, penyesuaian harga ini mulai berlaku pada Selasa, 1 Juli 2025, dan mencakup produk unggulan seperti Pertamax Series serta Dex Series.

Langkah penyesuaian ini menjadi sorotan publik lantaran terjadi di tengah kondisi ekonomi domestik yang masih dibayangi ketidakpastian global. Kenaikan harga tercatat bervariasi, dengan lonjakan antara Rp 450 hingga Rp 610 per liter untuk sebagian besar jenis BBM non-subsidi.

Menurut keterangan resmi Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, kebijakan ini didasarkan pada mekanisme pasar yang merujuk pada fluktuasi harga minyak mentah dunia serta pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Ia menegaskan bahwa evaluasi harga dilakukan secara rutin setiap awal bulan, sejalan dengan regulasi dari pemerintah.

“Penetapan harga BBM non-subsidi mengacu pada harga minyak dunia dan kurs rupiah, namun tetap dalam koridor yang ditetapkan pemerintah,” ujar Heppy kepada media, Selasa (1/7).

Harga BBM Non-Subsidi Naik Awal Juli, Pertamax dan Dex Series Alami Kenaikan Yang Signifikan

Harga BBM terbaru per 1 Juli 2025 untuk wilayah Jabodetabek adalah sebagai berikut:

  • Solar subsidi (Biosolar): Rp 6.800 per liter (tetap)
  • Pertalite: Rp 10.000 per liter (tetap)
  • Pertamax (RON 92): Rp 12.500 per liter (naik dari Rp 12.100)
  • Pertamax Turbo (RON 98): Rp 13.500 per liter (naik dari Rp 13.050)
  • Pertamax Green (RON 95): Rp 13.250 per liter (naik dari Rp 12.800)
  • Dexlite (CN 51): Rp 13.320 per liter (naik dari Rp 12.740)
  • Pertamina Dex (CN 53): Rp 13.650 per liter (naik dari Rp 13.200)

Kebijakan ini juga tetap mempertahankan harga untuk BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Biosolar, menyusul belum adanya perubahan atau penyesuaian dari pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama di tengah tekanan inflasi yang masih mengintai.

Penyesuaian harga BBM non-subsidi sejatinya bukan hal baru. Setiap badan usaha yang menjual BBM di Indonesia diwajibkan untuk melakukan evaluasi harga berkala yang mengacu pada patokan global, salah satunya Mean of Platts Singapore (MOPS). Patokan ini digunakan untuk menentukan batas atas dan bawah harga eceran BBM di dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam regulasi Kementerian ESDM.

Lebih lanjut, Heppy menyampaikan bahwa fluktuasi harga BBM sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti geopolitik internasional, krisis pasokan energi global, serta kondisi makroekonomi yang memengaruhi kurs rupiah.

“Faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan, seperti konflik di Timur Tengah dan kebijakan OPEC+, turut berdampak terhadap biaya impor minyak dan distribusinya,” jelasnya.

Seiring dengan penyesuaian harga, Pertamina juga mengimbau masyarakat untuk mulai beralih ke BBM yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah Pertamax Green, yang merupakan hasil campuran antara bahan bakar fosil dan bioetanol. Inisiatif ini selaras dengan upaya transisi energi nasional menuju penggunaan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pertamina juga mendorong konsumen untuk mengoptimalkan penggunaan aplikasi MyPertamina guna memantau harga BBM terkini dan melakukan transaksi digital secara lebih efisien. Masyarakat dapat mengakses seluruh informasi resmi melalui laman www.pertamina.com.

Meski kenaikan ini menimbulkan kekhawatiran dari sebagian masyarakat, terutama pengguna kendaraan pribadi dan pelaku usaha logistik, pihak Pertamina menyatakan bahwa penyesuaian ini diperlukan demi menjaga keberlangsungan operasional distribusi BBM nasional.

Dengan kebijakan harga yang semakin mengikuti prinsip pasar terbuka, publik pun dituntut untuk semakin cermat dan bijak dalam mengelola konsumsi energi. Pemerintah dan badan usaha di sektor energi kini menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan antara kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan sistem distribusi energi nasional.

Jika tidak ada perubahan signifikan dari faktor eksternal, tren penyesuaian harga BBM non-subsidi kemungkinan besar akan terus terjadi secara berkala. Dalam situasi seperti ini, efisiensi energi menjadi salah satu solusi utama yang bisa diterapkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Selain memantau dinamika harga, sejumlah pengamat energi juga menyoroti perlunya transparansi dalam perhitungan harga BBM non-subsidi. Mereka mendorong Pertamina dan pemerintah untuk lebih terbuka terkait formula penetapan harga, agar masyarakat memahami alasan di balik setiap kenaikan. Keterbukaan ini dianggap penting untuk membangun kepercayaan publik, terutama ketika harga BBM bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional.

Di sisi lain, pelaku usaha transportasi dan logistik mulai menyuarakan kekhawatiran atas dampak domino dari kenaikan harga BBM non-subsidi. Biaya operasional diprediksi akan meningkat dan berpotensi memicu penyesuaian tarif angkutan barang maupun penumpang. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini bisa mengarah pada kenaikan harga barang konsumsi di tingkat konsumen, yang pada akhirnya memperbesar tekanan inflasi dalam negeri.

Baca Lagi

Direkomendasikan

World