LiputanKhusus.com — Timur Tengah memanas. Untuk pertama kalinya, kelompok Houthi yang berbasis di Yaman secara terbuka mengonfirmasi bahwa serangan rudal ke wilayah Israel dilakukan atas koordinasi langsung dengan Iran, sebuah langkah yang memperjelas eksistensi poros perlawanan anti-Israel yang selama ini hanya dibicarakan di balik layar.
Dalam sebuah pernyataan publik yang disampaikan lewat siaran televisi, Juru bicara militer Houthi, Yehya Sarea, menyatakan bahwa mereka menargetkan kawasan Jaffa di pusat Israel dengan sejumlah rudal balistik dalam kurun waktu 24 jam terakhir. Ia menyebut operasi tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap “rakyat Palestina dan Iran yang tertindas,” serta menyebut Israel sebagai “musuh kriminal.”
Dari Proxy ke Mitra Serangan
Selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok yang didukung Iran seperti Houthi, Hizbullah, dan milisi di Irak beroperasi dalam bayang-bayang strategi regional Teheran. Namun, pernyataan terbaru dari pihak Houthi ini mengubah lanskap politik dan militer di Timur Tengah. Koordinasi serangan yang disebutkan secara terbuka memperlihatkan pergeseran dari proxy tidak langsung menjadi mitra aktif dalam operasi militer.
Hal ini terjadi di tengah ketegangan memuncak antara Israel dan Iran, terutama setelah Israel melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap Iran—serangan terbesar dalam sejarah konflik mereka. Balasan pun datang tidak hanya dari Iran secara langsung, tetapi juga dari front Yaman, yang mengirim rudal ke arah Israel.
Alarm dan Ledakan di Tengah Ketegangan
Militer Israel mengonfirmasi bahwa sirene peringatan serangan udara berbunyi di beberapa wilayah negara itu, menyusul peluncuran rudal dari Iran dan Yaman. Salah satu rudal dari Yaman bahkan dikabarkan jatuh di wilayah Hebron, Tepi Barat yang diduduki. Meski Houthi tidak mengklaim serangan di Hebron secara khusus, keterlibatan mereka dalam eskalasi ini tidak bisa diabaikan.
Sejak pecahnya perang antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023, kelompok Houthi secara konsisten meluncurkan rudal dan drone ke wilayah Israel. Sebagian besar berhasil dicegat oleh sistem pertahanan Israel, namun intensitas dan frekuensinya semakin menunjukkan bahwa front perlawanan kini tidak lagi terbatas pada Gaza atau Lebanon, melainkan telah meluas ke Yaman.
Amerika Serikat dan Dilema Intervensi
Keterlibatan Houthi dalam konflik ini juga menyeret Amerika Serikat ke dalam dilema kebijakan luar negeri. Di awal tahun ini, Washington sempat menggencarkan serangan terhadap Houthi, menyusul aksi mereka yang mengancam kapal-kapal di Laut Merah. Namun serangan itu dihentikan setelah Houthi sepakat untuk menghentikan serangan terhadap kapal Amerika—sebuah keputusan yang diambil saat Donald Trump kembali memegang kendali.
Kini, dengan Houthi secara terbuka menyatakan solidaritas militer dengan Iran dan melancarkan serangan ke Israel, AS mungkin dihadapkan pada pilihan baru: apakah akan tetap menahan diri, atau kembali turun tangan di medan tempur Yaman?
Arah Konflik: Regionalisasi yang Tak Terhindarkan?
Apa yang dulu dianggap sebagai konflik Israel-Palestina kini telah bertransformasi menjadi konflik regional yang melibatkan berbagai aktor dari berbagai negara. Iran tak lagi bersembunyi di balik proksinya, dan kelompok-kelompok seperti Houthi mulai mengambil posisi sentral dalam eskalasi.
Pertanyaan yang kini muncul: sejauh mana Israel dan sekutunya siap menghadapi konflik multipolar ini, tanpa memicu perang skala penuh di Timur Tengah?