LiputanKhusus.com — Di sebuah ruangan penuh semangat persaudaraan, dalam perayaan Idul Adha yang digelar oleh Muslim Association of Canada, Perdana Menteri Kanada Mark Carney menyampaikan pidato penuh pujian terhadap nilai-nilai Islam. Kalimatnya yang mencolok: “Nilai-nilai komunitas, kemurahan hati, dan pengorbanan — ini adalah nilai Muslim, dan ini juga nilai Kanada.”
Pernyataan ini sontak menyulut badai perdebatan di media sosial, khususnya di platform X (sebelumnya Twitter). Kalangan konservatif, nasionalis, hingga para komentator sayap kanan segera merespons dengan kritik tajam — bahkan sebagian dengan bahasa yang sangat kasar dan islamofobik.
Apresiasi atau Afirmasi Identitas?
Bagi sebagian warga Kanada, pernyataan Carney dianggap bentuk afirmasi terhadap kenyataan bahwa Kanada adalah negara multikultural. Islam, sebagai bagian dari mosaik agama dan budaya di Kanada, dinilai patut mendapat tempat dalam wacana publik. Dalam pandangan ini, nilai-nilai seperti solidaritas sosial, kemurahan hati, dan pengorbanan bukan hanya milik satu agama, melainkan nilai-nilai universal yang bisa dijunjung bersama.
Namun bagi kelompok lain, pidato tersebut dianggap sebagai bentuk “pencairan” identitas nasional Kanada — sebuah negara yang secara historis dibangun di atas nilai-nilai Kristen Eropa, khususnya Prancis dan Inggris. Mereka menyebut ucapan Carney sebagai upaya menyamakan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai yang telah lama dianggap mendefinisikan Kanada.
Batas antara Inklusivitas dan Provokasi
Satu hal yang tak bisa diabaikan: pidato itu menyentuh titik paling sensitif dalam wacana global — agama, identitas, dan nasionalisme. Ketika seorang kepala negara secara eksplisit menyebut nilai-nilai agama tertentu sebagai nilai nasional, maka itu bukan sekadar bentuk pengakuan, tetapi juga penegasan posisi. Di satu sisi, Carney hendak merangkul komunitas Muslim Kanada. Tapi di sisi lain, ia membuka celah tuduhan bahwa ia mengabaikan nilai-nilai dominan tradisional, terutama dari kelompok mayoritas kulit putih Kristen.
Perbandingan dengan pidato Carney saat Paskah pun mencuat. Banyak warganet menuduh sang perdana menteri gagal menyebut nama Yesus atau nilai-nilai Kristiani secara eksplisit, sementara justru menjadikan Idul Adha sebagai panggung utama untuk mendeklarasikan nilai-nilai Muslim sebagai “nilai nasional.”
Narasi Islamofobia Kembali Menguat
Kontroversi ini memperlihatkan bagaimana Islamofobia masih menjadi senjata ampuh dalam debat politik Barat. Tudingan “jihadis”, “kultus kematian”, hingga komentar rasis terhadap komunitas Muslim kembali bermunculan — tanpa filter dan tanpa empati. Bahkan jurnalis keturunan India, Rupa Subramanya, turut mengobarkan api dengan menyatakan bahwa “nilai-nilai Islam bukan nilai-nilai Kanada.”
Tentu saja pernyataan seperti itu mengabaikan fakta bahwa nilai-nilai seperti kemurahan hati, solidaritas, dan pengorbanan tidak eksklusif milik satu peradaban. Bahkan, dalam sejarah Kanada sendiri, nilai-nilai tersebut telah diperjuangkan bersama oleh berbagai komunitas imigran — termasuk Muslim.
Politik Simbolik atau Kepemimpinan Nyata?
Mark Carney dikenal sebagai politisi cerdas dan diplomat ulung, tetapi apakah langkahnya kali ini merupakan bentuk kepemimpinan inklusif, atau justru bentuk virtue signaling yang akan memecah belah?
Di tengah persiapan pemilu, banyak yang menduga bahwa Carney tengah mencoba memperkuat dukungan dari komunitas Muslim yang jumlahnya semakin signifikan. Namun cara yang dipilih — menyebut nilai Islam sebagai “nilai Kanada” secara eksplisit — dinilai terlalu berani dan provokatif bagi sebagian pemilih tradisional.
Arah Baru Kanada atau Titik Belok yang Berisiko?
Perdebatan ini lebih dari sekadar pidato Idul Adha. Ini tentang arah baru Kanada: apakah Kanada akan tetap menjadi negara yang benar-benar multikultural dan inklusif? Atau justru akan terjebak dalam tarik-menarik ideologis antara nasionalisme identitas dan pluralisme nilai?
Pidato Carney mungkin akan dikenang bukan karena kata-katanya yang lembut, tetapi karena badai yang ditimbulkannya. Di saat dunia makin terbelah, pertanyaannya bukan hanya soal siapa yang berbicara, tetapi juga: siapa yang merasa tak lagi diwakili oleh suara itu?