0
0

Serangan ke Iran: Strategi Putus Asa Netanyahu Menjaga Kekuasaan

Di balik dalih "pencegahan nuklir", serangan Israel terhadap Iran dinilai sebagai langkah politik penuh risiko yang disusun untuk mengalihkan sorotan dari kejahatan perang di Gaza dan krisis domestik pemerintahan Netanyahu

LiputanKhusus.com — Konflik antara Israel dan Iran kini memasuki hari ketiga dengan korban tewas mencapai sedikitnya 80 di Iran dan 10 di Israel. Meskipun Israel bersikukuh bahwa serangan ke fasilitas nuklir dan militer Iran bersifat “preventif”, tidak ada bukti kuat yang mendukung narasi ini. Sebaliknya, bukti-bukti menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari strategi yang telah lama dirancang—sebuah langkah ofensif yang jauh dari kondisi darurat.

Israel mengklaim bahwa serangan ini untuk mencegah pembangunan bom nuklir oleh Iran, mengacu pada laporan IAEA yang dirilis 12 Juni. Namun, bahkan IAEA sendiri tampaknya tidak menganggap laporan itu sebagai dasar ancaman mendesak. Tidak ada informasi baru dalam laporan tersebut yang belum diketahui komunitas internasional. Ini memperkuat dugaan bahwa alasan “pencegahan” hanyalah retorika kosong untuk membenarkan serangan sepihak.

Jika tujuan Israel memang menghentikan program nuklir Iran, maka strategi militer yang digunakan sangat bertolak belakang. Alih-alih menghancurkan infrastruktur nuklir secara menyeluruh, Israel justru menyerang fasilitas militer umum, depot minyak, dan membunuh sejumlah pejabat tinggi Iran. Di antara mereka adalah Ali Shamkhani, mantan menteri pertahanan dan penasihat dekat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Shamkhani diketahui sebagai tokoh kunci dalam negosiasi Iran dengan Amerika Serikat. Kematiannya, yang belum dikonfirmasi resmi oleh pemerintah Iran, tampak lebih sebagai sabotase diplomatik ketimbang operasi militer pencegahan.

Model serangan ini konsisten dengan pendekatan lama Israel: mengeliminasi tokoh kunci dalam harapan bahwa sistem yang mereka pimpin akan runtuh. Namun sejarah membuktikan bahwa pendekatan ini jarang berhasil. Justru sebaliknya, pembunuhan semacam ini sering memperkuat perlawanan dan mempersatukan masyarakat yang sebelumnya terpecah.

Ada juga narasi bahwa Israel ingin memicu “perubahan rezim” di Teheran. Netanyahu secara terbuka menyerukan rakyat Iran untuk melawan “rezim yang jahat dan represif”. Namun anggapan bahwa rakyat Iran akan menyambut serangan Israel dengan pemberontakan melawan pemerintah mereka adalah bentuk penyederhanaan yang berbahaya. Meskipun banyak warga Iran kritis terhadap rezim, mereka juga dikenal sangat patriotik dan menolak intervensi asing dalam urusan domestik mereka. Reaksi terhadap serangan Israel justru menunjukkan konsolidasi nasional, bukan disintegrasi.

Mengapa, kalau begitu, Israel menyerang? Jawaban yang paling mungkin adalah: politik. Di tengah kampanye genosidal di Gaza yang telah memicu kecaman global, posisi Netanyahu semakin terisolasi. Sejumlah negara mulai bergerak untuk mengakui Palestina secara sepihak. Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat penangkapan untuk Netanyahu, dan Mahkamah Internasional sedang menunggu keputusan terkait legalitas pendudukan Israel. Dalam kondisi ini, serangan ke Iran bisa dibaca sebagai upaya pengalihan isu dan penegasan kekuatan.

Bagi Netanyahu, ini mungkin pertaruhan terakhir untuk menyatukan kembali opini publik domestik dan menunda tekanan hukum internasional. Iran tetap dipandang sebagai ancaman oleh banyak kekuatan besar di Global North. Dengan membombardir Iran, Netanyahu bisa mengaktifkan kembali narasi lama soal ancaman eksistensial, sambil menekan negara-negara Barat untuk kembali berpihak.

“Keamanan nasional” menjadi mantra suci Israel sejak lama. Namun, dalam praktiknya, konsep ini telah menjadi justifikasi untuk tindakan brutal di Gaza, Lebanon, Suriah, dan kini Iran. Keamanan versi Israel berarti kebebasan mutlak untuk menyerang, membunuh, dan menghancurkan tanpa konsekuensi. Ini adalah fondasi supremasi yang ingin dijaga oleh rezim Netanyahu.

Akhirnya, pertanyaan terbesar adalah: akankah ini berhasil? Untuk sementara, tampaknya publik Israel mendukung langkah Netanyahu. Di tengah kepanikan, banyak warga sibuk berbelanja, membangun bunker, dan mengikuti protokol pertahanan sipil. Namun euforia nasionalis ini bisa jadi hanya bertahan sementara. Dunia sedang berubah, dan pelanggaran yang dilakukan Israel makin sulit ditutupi oleh propaganda.

Jika serangan ke Iran adalah upaya Netanyahu untuk menyelamatkan dirinya dari kehancuran politik dan tuntutan kejahatan perang, maka ini adalah pertaruhan yang sangat berbahaya. Tidak hanya bagi rakyat Iran dan kawasan Timur Tengah, tetapi juga bagi masa depan Israel sendiri.

Reaksi internasional terhadap serangan ini pun mulai terlihat. Negara-negara di kawasan Timur Tengah, termasuk Turki dan Qatar, mengecam keras tindakan Israel dan menyerukan penguatan solidaritas regional terhadap agresi yang dianggap berbahaya ini. Rusia dan Tiongkok juga mengeluarkan pernyataan keras, memperingatkan risiko meluasnya konflik menjadi perang regional yang lebih besar.

Di dalam negeri Israel, beberapa suara oposisi mulai menyuarakan keprihatinan atas arah kebijakan luar negeri yang semakin konfrontatif. Meskipun sebagian besar elite politik mendukung Netanyahu saat ini, keretakan perlahan muncul terutama dari kalangan militer dan intelijen yang mempertanyakan efektivitas strategi tersebut dalam jangka panjang.

Selain itu, dampak ekonomi dari konflik juga mulai terasa. Nilai tukar shekel Israel melemah, pasar saham bergejolak, dan investor asing mulai menarik diri karena ketidakpastian situasi geopolitik. Kondisi ini bisa memperburuk tekanan domestik yang telah lebih dulu ada akibat tingginya inflasi dan protes sosial.

Di Iran sendiri, respons terhadap serangan Israel adalah mobilisasi kekuatan dan retorika pembalasan. Pemimpin Tertinggi Khamenei menyerukan kesatuan nasional dan mempercepat program pertahanan. Serangan balik telah diluncurkan ke berbagai wilayah Israel, mencerminkan kapasitas Iran untuk menanggapi secara signifikan.

Situasi ini menciptakan ketegangan baru yang dapat menyulut eskalasi lebih luas. Negara-negara tetangga seperti Lebanon dan Suriah kini bersiaga tinggi. Hizbullah menyatakan siap turun ke medan tempur jika Israel melanjutkan agresinya, yang membuka potensi perang multi-front yang sulit dikendalikan.

Sementara itu, PBB kembali menyerukan gencatan senjata dan memulai proses diplomasi intensif. Namun, sejarah menunjukkan bahwa resolusi internasional sering kali diabaikan oleh Israel, terutama bila mendapat dukungan tidak langsung dari sekutunya di Barat.

Amerika Serikat menghadapi dilema besar. Di satu sisi, ia adalah sekutu tradisional Israel. Di sisi lain, tekanan domestik dan internasional menuntut pemerintahan Biden untuk menahan diri dan tidak memberi cek kosong pada aksi militer Israel. Posisi AS akan sangat menentukan arah konflik ke depan.

Jika tidak ada upaya penahanan serius dari komunitas internasional, maka dunia bisa menyaksikan krisis Timur Tengah yang lebih luas dan mematikan. Serangan Israel terhadap Iran bukan hanya isu bilateral, tetapi titik nyala yang bisa menyeret banyak negara ke dalam jurang konflik berkepanjangan.

Dalam konteks ini, tanggung jawab dunia bukan hanya menenangkan ketegangan, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin yang mempermainkan nyawa manusia demi ambisi politik pribadi.


Opini ini disusun berdasarkan fakta-fakta terbaru dari lapangan, laporan lembaga internasional, dan dinamika politik dalam negeri Israel.

 

Baca Lagi

Direkomendasikan

World