Jakarta – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi saksi sidang perdana kasus suap penjagaan situs judi online di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), kini berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Pada 14 Mei 2025, jaksa membacakan dakwaan terhadap Muhrijan alias Agus, salah satu dari 15 tersangka yang diduga terlibat dalam skema korupsi yang memungkinkan situs judi online tetap beroperasi meski seharusnya diblokir.
Dengan total setoran mencapai Rp15,3 miliar, kasus ini tidak hanya mengungkap jaringan suap di dalam kementerian, tetapi juga menyeret nama mantan Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi, yang diduga menerima porsi terbesar dari keuntungan. Skandal ini menjadi cerminan kegagalan pengawasan institusi dan memicu pertanyaan tentang integritas pejabat tinggi di Indonesia.
Awal Mula: Dari Patroli Internet ke Praktik Suap
Kominfo memiliki tugas krusial untuk mengendalikan konten internet ilegal, termasuk situs judi online, melalui patroli siber yang dilakukan oleh Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal. Tim ini, yang dipimpin Denden Imadudin Soleh, seharusnya mengidentifikasi situs-situs ilegal, mengumpulkan datanya, dan menyerahkan laporan kepada kepala verifikator untuk pemblokiran.
Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Denden, bersama anggota timnya seperti Fakhri Dzulfiqar, Yudha Rahman Setiadi, dan Yoga Priyanka Sihombing, justru menjalankan praktik “penjagaan” situs judi online, memastikan situs-situs tertentu tetap aktif dengan imbalan suap.
Skandal ini terkuak ketika Muhrijan alias Agus, yang mengaku sebagai utusan salah satu direktur di Kominfo, mengetahui praktik ini pada Februari atau Maret 2024. Ia mendekati Denden di kantor Kominfo, mengancam akan melaporkan skema tersebut kepada Menteri Kominfo saat itu, Budi Arie Setiadi, kecuali Denden membayar “uang tutup mulut” sebesar Rp1,5 miliar.
Transaksi ini dilakukan secara bertahap: Rp50 juta ditransfer ke rekening BCA atas nama pihak ketiga, Rp900 juta diserahkan tunai di Hotel Ibis Sunter, dan SGD15.000 (sekitar Rp150 juta) diserahkan melalui supir Denden di belakang kantor Kominfo.
Eskalasi Skema: Kesepakatan di Kafe Pergrams
Pada Maret 2024, Muhrijan kembali menghubungi Denden, kali ini untuk meminta diperkenalkan kepada Adhi Kismanto, tenaga ahli Kominfo yang melakukan “patroli mandiri” dan menyebabkan banyak situs judi yang dijaga Denden terblokir pada Januari 2024.
Adhi, yang awalnya tidak lolos seleksi tenaga ahli karena tidak memiliki gelar sarjana, diterima bekerja atas “atensi” Budi Arie Setiadi. Meskipun hanya diberikan biodata Adhi oleh Denden, Muhrijan berhasil menemui Adhi di Kafe Pergrams, Senopati, Jakarta Selatan.
Pertemuan ini menjadi titik balik. Alih-alih menghentikan praktik ilegal, Muhrijan dan Adhi justru menyepakati kelanjutan skema penjagaan situs judi online dengan imbalan Rp1-5 miliar atau 20% dari total keuntungan untuk Adhi. Dalam pertemuan lanjutan di kafe yang sama, Adhi memperkenalkan Muhrijan kepada Zulkarnaen Apriliantony, tokoh kunci yang mengaku dekat dengan Budi Arie. Zulkarnaen, yang memperkenalkan Adhi kepada Budi Arie sehingga ia bisa bekerja di Kominfo, menerima jatah Rp3 juta per situs yang dijaga.
Puncaknya, dalam pertemuan lain di Kafe Pergrams, Muhrijan dan Zulkarnaen menyepakati tarif Rp8 juta per situs judi online yang tetap aktif. Pembagian keuntungan ditetapkan dengan Adhi mendapatkan 20%, Zulkarnaen 30%, dan Budi Arie diduga menerima 50% dari total keuntungan. Skema ini memungkinkan sekitar 1.000 dari 5.000 situs judi online yang seharusnya diblokir tetap beroperasi, menghasilkan setoran Rp15,3 miliar bagi para pelaku.
Peran Budi Arie: Bantahan atau Pengelakan?
Nama Budi Arie Setiadi menjadi sorotan utama dalam kasus ini. Sebagai Menteri Kominfo saat skandal berlangsung, ia disebut-sebut sebagai penerima jatah terbesar dari praktik suap. Dalam dakwaan, Zulkarnaen Apriliantony mengklaim kedekatannya dengan Budi Arie, yang memungkinkan skema ini berjalan tanpa hambatan. Budi Arie juga diketahui secara pribadi memerintahkan penerimaan Adhi Kismanto sebagai tenaga ahli, meskipun Adhi tidak memenuhi syarat.
Ketika dihubungi Tempo pada 16 Mei 2025, Budi Arie hanya menanggapi dengan dua emoji senyum dan mengirimkan video berdurasi 46 detik. Dalam video tersebut, ia membantah keterlibatannya, menyatakan tidak pernah meminta uang dari bisnis judi online atau memberikan perintah untuk melindungi situs judi.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ada staf khususnya atau anggota Projo—organisasi yang ia dirikan—yang terlibat. Budi Arie menuduh adanya “framing jahat” dari pihak tertentu, mengklaim bahwa setiap kasus judi online selalu melibatkan kader partai lain yang ia sebut sebagai “mitra judi online.”
Namun, bantahan Budi Arie tidak sepenuhnya meredam kecurigaan publik. Keputusannya untuk merekrut Adhi Kismanto melalui jalur nonformal dan keterlibatan Zulkarnaen, yang memiliki koneksi politik dengan PDI Perjuangan, memicu spekulasi tentang adanya jaringan yang lebih luas di balik skandal ini. Akun media sosial seperti @PartaiSocmed
bahkan menyerukan penyelidikan lebih lanjut terhadap Budi Arie, menyebutnya sebagai dalang utama.
Dampak dan Implikasi
Kasus ini mengungkap kelemahan sistemik dalam pengawasan di Komdigi. Dari 15 tersangka, 11 di antaranya adalah pegawai aktif kementerian, menunjukkan betapa dalamnya korupsi telah merasuki institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas konten ilegal.
Praktik penjagaan situs judi online tidak hanya merugikan upaya pemerintah untuk memerangi judi online, tetapi juga memperburuk dampak sosial dan ekonomi dari industri ini. Menurut PPATK, perputaran uang dari judi online di Indonesia mencapai Rp1.000 triliun per tahun, dengan kerugian signifikan bagi masyarakat rentan.
Secara politik, skandal ini berpotensi mencoreng reputasi PDI Perjuangan, mengingat keterlibatan Zulkarnaen dan dugaan keterkaitan dengan Budi Arie, yang merupakan tokoh penting dalam partai tersebut. Isu ini juga memicu perdebatan tentang politisasi kasus hukum, dengan Budi Arie menuduh adanya upaya untuk menyerangnya melalui narasi yang dibangun oleh lawan politik.
Menuju Reformasi: Langkah ke Depan
Untuk mencegah kasus serupa, Komdigi perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem rekrutmen dan pengawasan. Proses seleksi tenaga ahli harus transparan dan bebas dari intervensi pejabat tinggi. Selain itu, penguatan teknologi patroli siber dan pelatihan integritas bagi pegawai dapat menjadi langkah preventif. Kolaborasi lintas sektoral, seperti yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dan PPATK, juga penting untuk membongkar jaringan judi online yang lebih luas.
Di sisi masyarakat, edukasi tentang bahaya judi online perlu diperkuat. Program seperti yang dijalankan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gunungkidul, yang melibatkan komunitas lokal untuk meningkatkan literasi digital, dapat menjadi model untuk skala nasional. Selain itu, peran keluarga, khususnya ibu, dalam mencegah anggota keluarga terjerumus ke judi online juga harus didorong melalui kampanye sosial.
Skandal penjagaan situs judi online di Kominfo adalah pukulan telak bagi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Dengan setoran Rp15,3 miliar dan dugaan keterlibatan mantan menteri, kasus ini menuntut penyelesaian hukum yang transparan dan tegas.
Meskipun Budi Arie membantah keterlibatannya, fakta bahwa skema ini melibatkan pegawai kementerian dan tokoh-tokoh dengan koneksi politik menunjukkan perlunya reformasi sistemik.
Publik kini menantikan kelanjutan sidang untuk mengungkap kebenaran dan memastikan keadilan, sambil berharap pemerintah dapat mengambil langkah konkret untuk memberantas judi online dan mencegah skandal serupa di masa depan.
Untuk pembaruan terbaru, pantau situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau sumber berita terpercaya seperti Tempo.co (Sumber).