LiputanKhusus.com — Pada konser di Sidney Myer Music Bowl, Melbourne, ribuan penggemar berkumpul untuk menyaksikan salah satu ikon musik alternatif paling berpengaruh di dunia: Thom Yorke, vokalis Radiohead. Konser yang dijanjikan sebagai malam penuh ekspresi seni dan suara protes terhadap berbagai ketidakadilan, ternyata berubah menjadi momen kontroversial yang menguak sisi gelap dari sikap politik sang musisi.
Insiden itu bermula ketika seorang penonton berteriak lantang dari kerumunan:
“Bagaimana dengan pembantaian di Gaza?”
Seruan yang sederhana, tetapi penuh makna, meminta perhatian atas penderitaan jutaan warga Palestina yang hidup di bawah penjajahan dan blokade brutal selama puluhan tahun. Bagi banyak orang, ini adalah panggilan kemanusiaan yang mendesak untuk didengar.
Namun, respons Thom Yorke tidaklah seperti yang diharapkan. Alih-alih merangkul seruan tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab moral seorang seniman, Yorke justru menantang balik dengan nada sinis dan arogan:
“Jangan berdiri di sana seperti pengecut. Naik ke sini dan katakan itu.”
Tantangan tersebut tidak hanya kasar, tapi juga memperlihatkan ketidaksiapan dan ketidakmauan Yorke untuk menghadapi suara rakyat yang menyuarakan keadilan. Ketika penonton itu tidak naik ke panggung, entah karena ketakutan atau ketidaksanggupan menghadapi tantangan tak berperasaan itu, Thom Yorke memilih meninggalkan panggung secara dramatis, menghentikan konser, dan membiarkan ribuan penonton dalam kebingungan dan kekecewaan mendalam.
Hukuman Kolektif: Tindakan yang Menggema Ironi
Yang paling ironis dari semua ini adalah cara Thom Yorke merespons satu seruan kemanusiaan dengan hukuman kolektif terhadap lebih dari 11.000 penonton. Dengan satu keputusan emosional — meninggalkan panggung — ia menghukum seluruh audiens yang telah membayar mahal, menunggu lama, dan berharap menikmati malam musik yang menyentuh jiwa.
Tindakan ini bukan hanya tidak profesional, tetapi juga mencerminkan logika penindasan yang selama ini digunakan oleh negara penjajah seperti Israel terhadap rakyat Palestina: menghukum semua orang karena satu suara perlawanan. Ini adalah bentuk kolektivisasi kesalahan yang seharusnya ditolak oleh siapa pun yang menjunjung prinsip keadilan.
Apakah keadilan bisa ditegakkan dengan membungkam semua karena keberanian satu orang? Bukankah seharusnya seorang musisi sekelas Thom Yorke memiliki kapasitas intelektual dan emosional untuk memisahkan antara protes damai dan gangguan nyata?
Lebih parah lagi, hukuman kolektif ini mengingatkan pada taktik militer yang digunakan di Gaza — ketika satu tindakan dianggap sebagai ancaman, lalu seluruh komunitas dibombardir. Dengan meninggalkan panggung dan menghentikan konser secara sepihak, Thom Yorke menciptakan miniatur penindasan yang sama di panggung musiknya.
Musik Sebagai Ruang Solidaritas yang Terkhianati
Musik adalah bahasa universal yang sejak lama menjadi medium perjuangan bagi yang tertindas, dari lagu-lagu protes era 60-an sampai suara-suara alternatif hari ini. Para musisi seperti Bob Dylan, Joan Baez, dan belakangan Roger Waters, telah menggunakan panggung dan pengaruh mereka untuk memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. Di banyak kesempatan, para seniman ini dengan berani mengambil sikap, bahkan ketika itu berarti menghadapi tekanan politik dan risiko kehilangan popularitas.
Namun, insiden Thom Yorke di Melbourne memperlihatkan sebaliknya: musik bisa juga menjadi alat pembungkaman dan disiplin, bukan pembebasan. Alih-alih menjadi suara solidaritas untuk Palestina yang tertindas, Yorke memilih menjadi penjaga diam status quo — sang musisi yang membungkam dan mengabaikan panggilan kemanusiaan paling dasar.
Tantangan yang Memecah, Bukan Menguatkan
Tantangan Yorke agar penonton yang menyerukan “Free Palestine” naik ke panggung bukanlah bentuk dialog atau solidaritas. Ini adalah bentuk intimidasi simbolik yang menghina, memaksakan keberanian dalam situasi yang jelas tidak adil.
Bayangkan seorang musisi besar, dengan seluruh fasilitas panggung dan pengamanan di belakangnya, menantang seorang penonton biasa yang berada dalam lautan ribuan orang:
“Kalau kamu benar-benar berani, buktikan di sini!”
Sebuah tantangan yang tidak hanya tidak realistis, tapi juga menyiratkan bahwa keberanian adalah milik segelintir elit yang menguasai panggung, sementara rakyat biasa harus tunduk diam.
Ini mengubah ruang konser yang seharusnya menjadi tempat pertemuan kolektif solidaritas menjadi arena kekuasaan yang timpang, di mana suara-suara kecil ditindas oleh egosentrisme sang bintang.
Keheningan Sebagai Sikap Politik
Meninggalkan panggung setelah insiden itu bukan hanya reaksi emosional sesaat. Itu adalah pernyataan politik yang jelas. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, di mana jutaan warga sipil menghadapi kekejaman, pemboman, dan blokade yang mengerikan, keheningan dan penolakan untuk mendengar adalah bentuk dukungan implisit terhadap penjajahan.
Yorke mungkin mengklaim dirinya netral atau ingin menghindari kontroversi. Tapi dalam isu kemanusiaan sebesar ini, tidak ada posisi netral. Ketika ia membiarkan seruan “Free Palestine” berlalu tanpa dukungan, dan bahkan menghentikan konser sebagai respons atas seruan itu, ia memilih diam bukan sebagai bentuk kehati-hatian, tapi sebagai bentuk pembungkaman yang memperkuat penindasan.
Konsekuensi dan Refleksi
Insiden ini tidak hanya mengecewakan penggemar dan aktivis hak asasi manusia, tapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang peran musisi dalam dunia yang penuh ketidakadilan. Apakah seorang artis memiliki kewajiban moral untuk berdiri bersama yang tertindas, ataukah mereka bisa memilih untuk tutup mata demi kenyamanan dan popularitas?
Banyak musisi muda dan penggemar kini menuntut pertanggungjawaban dan keberpihakan yang lebih jelas. Dalam dunia di mana suara publik semakin kuat melalui media sosial, diam dan ketidaksiapan untuk menghadapi isu-isu kritis tidak lagi bisa diterima.
Lagu dan Keberpihakan
Thom Yorke memiliki bakat luar biasa dan pengaruh besar. Namun, bakat tidak cukup untuk menjadi suara kemanusiaan. Sikapnya di Melbourne menjadi bukti bahwa terkadang, yang paling berpengaruh sekalipun bisa memilih diam saat dunia membutuhkan suara paling lantang.
Musik seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan, bukan tembok pembatas. Semoga insiden ini menjadi cermin bagi para seniman lain agar lebih berani dan konsisten dalam membela nilai kemanusiaan, tanpa takut kehilangan panggung.